Selasa, 17 November 2009

Badan-badan PBB dan Asas-asas Organisasi Internasional

Pendahuluan.
PBB merupakan salah satu organisasi internasional yang bersifat global yang terpenting pada masa kini. PBB adalah menggantikan Liga Bangsa-Bangsa yang telah terputus akibat dari perang Dunia kedua. PBB bermula di Deklarasi Mosko pada tanggal 1 november 1943, yang dihadiri Menteri Luar Negeri Negara-Negara Amerika Serikat, China, Inggris dan Uni Soviet memutuskan akan mendirikan organisasi internasional. Kemudian melahirkan Piagam PBB baru yang di tandatangani pada tanggal 28 juni 1945 dan mulai berlaku pada 24 oktober 1945 yaitu setelah dipenuhi jumlah Ratifikasi Negara yang di persyaratkan. Piagam PBB bertujuan untuk menetapkan tujuan dari organisasi internasional dan mengatur segala permasalahan yang muncul dalam hubungan internasional dan dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh organisasi internasional.

Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar-bangsa, mewujudkan kerja sama dan memecahkan masalah-masalah internasional baik ekonomi social dan kebudayaan. Dan juga menjadi pusat untuk menyerasikan tindkan-tindakan bangsa dalam mencapai tujuan.

Keanggotaan PBB.
Masalah keanggotaan PBB diatur dalam bab II pasal 3 sampai dengan pasal 6 Piagam PBB. Pasal 3 mengatur tentang kedudukan anggota asli atau pemula (original members) PBB.
Yang termasuka anggota pemula PBB yaitu :
1. Negara-negara yang telah ikut serta dalam konferensi San Fransisco pada tanggal 25 April 1945.
2. Negara-negara yang telah terlebih dahulu menandatangani Deklarasi Washington pada tanggal 1 Januari 1942.
3. Negara pada point 1 dan 2 diatas yang telah menandatangani piagam dan meratifikasinya sesuai dengan pasal 110 Piagam.
Untuk penerimaan anggota baru diatur dalam pasal 4 yaitu :
Keanggotaan dalam PBB terbuka untuk semua Negara lain yang cinta damai dan menerima kewajiban-kewajiban yang tertera dalam piagam PBB yang berdasarkan pertimbangan organisasi PBB sanggup dan bersedia menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.

Lembaga/Organ/Alat Perlengkapan Utama PBB.
Berdasarkan pasal 7 Piagam PBB, maka lembaga utama PBB itu terdiri dari 6 bagian yakni :
1. Majelis Umum.
Majelis Umum merupakan alat perlengkapan atau organ utama dimana semua Negara anggotanya mempunyai wakilnya(pasal 9 ayat 1 piagam PBB),setiap negara anggota dapat mengirimkankan wakilnya diMajelis Umum PBB tidak boleh melebihi lima orang(pasal 9 ayat 2 piagam PBB).Walaupun boleh mengirimkan wakilnya lima orang,namun setiap anggota hanya mempunyai satu suara.MajelisUmum bersidang satu tahun sekali dan sidang majelis umum diadakan di Markas Besar PBB atau ditempat lain atas kehendak dari mayoritas anggota. Sidang Khusus Majelis Umum dapat diadakan atas permintaan Dewan Keamanan atau atas permintaan mayoritas anggota,walaupun PBB resmi didirikan pada tanggal 24 oktober 1945 tetapi majelis umum bersidang baru pada tanggal 10 januari 1946.

2. Dewan Keamanan.
Majelis Umum memilih anggota tidak tetap Dewan Keamanan dengan suara dua per tiga anggota yang hadir dan memberikan suaranya.syarat yang harus diperhatikan dalam pemilihan anggota tidak tetap Dewan Keamanan itu: Sumbangan negara tersebut terhadap perdamaian dan keamanan internasional; demikian juga sumbangan terhadap tercapainya tujuan organisasi PBB,juga harus memperhatikan perwakilan yang didasarkan pada wilayah(pasal 23 ayat 1 piagam PBB).

3. Dewan Ekonomi dan Sosial.
Majelis Umum memilih anggota Dewan Ekonomi dan Sosial (pasal 61 ayat 1 piagam PBB).

4. Dewan Perwalian.
Dewab Perwalian akan melaporkan pelaksanaan fungsinya pada Majelis Umum PBB(pasal 88 piagam PBB).Dewan Perwalian adalah alat atau organ utama PBB yang bertanggung jawab atas sistem perwalian yang ditetapkan dalam Bab 12 dan 13,termasuk pemberian persetujuan mengenai perjanjian-perjanjian perwalian bagi daerah yang tidak termasuk daearah strategis.

5. Mahkamah Internasional.
Majelis Umum dan Dewan Keamanan memilih anggota Hakim Mahkamah Internasional.Jumlah Hakim Mahkamah Internasional sebanyak 15 orang (pasal 4 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional).

6. Sekretariat.
Sekretaris jenderal PBB ditunjuk oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan (pasal 97 piagam PBB).

Tujuan-Tujuan Hukum Internasional dan Asas-Asasnya.

Pada Pasal 1 Piagam ini disebutkan bahwa tujuan PBB adalah sebagai berikut:
Pertama : Menjaga keselamatan dan keamanan masyarakat internasional. Yang terimplementasi dengan keberadaan lembaga rehabilitasi gabungan yang bertujuan mencegah dan menghilangkan terjadinya sebab-sebab yang mengancam keselamatan, sesuai dengan konsep-konsep keadilan Hukum Internasional, dalam rangka memecahkan perselisihan internasional. Kedua : Menumbuhkan Hubungan Internasional antar masyarakat dunia dengan asas penghormatan atas konsep persamaan hak bangsa-bangsa, juga penetapan rehabilitasi yang sinergis terhadap stabilitas kedamaian internasional.
Ketiga : Menerapkan kerja sama internasional dalam memecahkan permasalahan-permasalahan negara, terutama yang berhubungan dengan perekonomian, kemasyarakatan, kebudayaan dan kemanusiaan. Juga memperkuat penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan asasi warga dunia seluruhnya tanpa membeda-bedakan kewarganegaraan, bahasa, agama maupun gender
.
Sedangkan konsep-konsep yang tercantum dalam Pasal Kedua Piagam PBB dan harus dipatuhi oleh Organisasi PBB dan negara anggota adalah:
Pertama : Mendirikan lembaga dengan asas persamaan kedaulatan seluruh anggotanya
Kedua :Agar semua anggota PBB bisa terpenuhi hak-hak dan keutamaan-keutamaan yang tumbuh karena keanggotaannya, hendaknya semua anggota melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam piagam ini. Ketiga : Semua anggota PBB berhak menggunakan kekerasan untuk memepertahankan keselamatan wilayah negaranya dan kemerdekaan politiknya terhadap negara manapun. Keempat : Peraturan-peraturan dalam lembaga ini juga berlaku pada negara-negara selain anggota PBB sejauh untuk penjagaan keamanan dan perdamaian dunia. Kelima : Piagam ini tidak memberikan Hak atas PBB untuk intervensi terhadap permasalahan-permasalahan dalam negeri negara anggotanya, juga tidak membenarkan negara anggotanya untuk membeberkan permasalahan dalam negerinya untuk diselesaikan dengan otoritas Piagam PBB ini.

Jadi jelas terlihat, betapa pentingnya peran tujuan-tujuan dan konsep-konsep Piagam PBB ini. Secara umum, tujuan-tujuan dan konsep-konsep di atas mengisyaratkan dua poin besar, yaitu: Pertama, Wewenang PBB terpenting adalah menjaga perdamaian dan keamanan internasional, karenanya, seluruh negara anggota juga harus pro-aktif menjaganya, bahkan negara-negara yang bukan anggota juga dihimbau untuk pro-aktif. Begitu pula konsep-konsep yang melarang PBB untuk intervensi dengan permasalahan dalam negeri setiap negara. Kedua, ketidak-patuhan atas suatu hal yang wajib secara Hukum tidak serta merta berarti bahwa hal tersebut tidak legal secara Hukum.

PERBANDINGAN HUKUM Istilah Perbandingan Hukum


1. Comparative Law adlh perbandingan hokum mempelajari sistem hukum asing dg maksud mempelajarinya.
2. Comparative Yurisprudence adlh suatu sistem mengnai prinsip2 ilmu hokum dg melakukan perbandingan berbagai macam system hokum.
3. Foreign Law adlh mempelajari hokum asing semata2 untuk mengetahui system hokum asing itu tanpa maksud memperbandingkan.


Sistem Hukum (Famili Hukum) atau Keluarga Hukum
1. Sistem hokum Kontinental (civil law).
Di dasarkan pada system hokum Romawi yg berupa system hokum kodifikasi, berorientasi pd definisi hokum, konsep2 atau pemikiran yg abstrak dan pd ajaran2 atau dogma2 hukum (disini termasuk America Latin)
2. Sistem hokum Anglo Saxon ( Common Law)
Ini tidak ada kodifikasi, berorientasi pd hokum konkrit yg ada dalam Case Law (hokum kasus)
3. Sistem Hukum Timur Tengah (Mudle East System)
Didasarkan pada hokum-hukum Islam.
4. Sistem Hukum Timur Jauh (Far East System)
Didasarkan pd hokum Tradisional, walaupun ada undang2 yg dibuat tertulis. Seperti China dan Jepang.
5. Sistem Hukum Sosialis ( Socialist Legalty)
Didasarkan pada system Materialisnya.


Mamfaat atau Kegunaan Perbandingan Hukum
Para ahli yg berpendapat antara lain :
Prof. Sudarto, Kene David, Binery, Soerjono Soekanto dan Tahir Nungrah.


Mamfaat perbandingan hokum tersebut adalah :
1. Pembaharuan Hukum Nasional
Misalnya dari HIRmenjadi KUHAP
2. Untuk menghargai/menghormati hokum bangsa2 Asing.
3. Menghindari rasa/sifat Kolonialisme terhadap hokum sendiri.


Didalam perbandingan hokum yg diperbanding adalah Persamaan atau perbedaan2 dg system hokum yg lain dan untuk mengetahui bagaimana fungsinya aturan2 hukum yg diperbandingkan itu.
Contoh : Indonesia memiliki UU tentang Narkotika dg ancaman yg bersufat elastis artinya boleh memilih dari salah satu hukuman yg telah ditentukan dlm pasal 10 KUHP.
Malaysia juga memiliki UU tentang Narkotika, namun apabila telah sampai waktu tertentu terdakwa akan di hokum mati.


Dalam Perbandingan Hukum yg diperbandingkan juga Yaitu :
Faktor2 yuridis, Faktor2 politis, Faktor2 ekonomis dan Faktor2 budaya.

Sejarah singkat Perbandingan Hukum
1. Kene David.
Menurut Kene David perbandinga hokum sudah berkembang sejak ada ilmu hokum itu sendiri tapi perkembangannya baru dilihat pada ahir abad ke 19.
2. Rudolf F. Schinitzer
Meunurut dia Mula2 perbandingan hokum ini hanya dipelajari secara perorangan.
3. Perancis (Montesque)
Secara kelembagaan di Perancis tahun 1832 yaitu “ Institut Perbandingan” (College de France). Kemudian di Universitas Paris pd tahun 1846.
Menurut sejarah Montesque itulah yg menjadi bapak perbandinga hokum karena beliau yg pertama kali menyatakan bahwa “ The rule of law” tidak dipandang sesuatu yg bersifat abstrak tapi harus dipandang sebagai suatu latar belakang historis dari lingkungan dimana hokum itu berfungsi.
4. Inggris (Mansfield)
Di Inggris tahun 1846 didirikan atau dibuat panitia pendidikan hokum dibawah pengawasan Hose Common dan direkomendasikan agar setiap Universitas di Inggris diajarkan mata kuliah perbandingan hokum. Kemudian pd tahun 1869 didirikan lagi “Institut Historical, Comparative, Jurisprudence” maksud dari Inggris supaya Universitas di belajarkan perbandingan hokum untuk mempelajari hukum2 yg berkembang di Negara2 jajahannya.
Misalnya : Malaysia.
Kemudian pada abad ke 20 perbandingan hokum berkembang pesat dg adanya Konferensi Den Hac menghasilkan traktat2 dilapangan transportasi, kereta api, hak cipta, hak milik industri dan sebagainya.

Kedudukan Perbandingan Hukum
1. Guiten de Borgonisennotun.
Bahwa perbandingan hokum bukan ilmu hokum tapi hanya suatu metode studi untuk menyelidiki tentang hokum yakni dengan cara perbandingan.
2. Prof. Hartono.
Bahwa perbandingan hokum bukan cabang dari ilmu hokum tapi hanya sekedar sebagai metode penelitian hokum saja. Oleh karena perbandingan hokum tidak melahirkan nama2 hukum atau asas2 hukum. Makanya tidak dikenal ada namanya perbandingan hokum pidana atau perdata.

Sumber Hukum Pidana Inggris
1. Common Law.
Custom → Common Law → Case Law → ajaran Presedent.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hokum yg utama di Inggris adalah Common Law atau hokum kebiasaan. Semula ia hanya kebiasaan2 saja yg mengatur kehidupan masyarakat. Kemudian kalau terjadi sengketa baik perdata atau pidana diselesaikan dg menggunakan hokum adat atau kebiasaan. Kemudian setelah diberi sanksi maka ia menjadi hokum kebiasaan (common law) tetapi ada kasus2 yg tidak dapat diselesaikan berdasarkan hokum kebiasaan melalui fungsionalis/pejabatnya yg melaksanakan hokum kebiasaan. Maka kasus yg demikian di ajukan ke pengadilan dan kemudian memperoleh keputusan hakim. Keputusan hakim inilah yg disebut: Case Law (hokum kebiasaan kasus2 Konkrit). Keputusan2 hakim iniwajib di ikuti oleh hakim2 yg menyelesaikan kasus yg sama dikemudian hari karena didasrakan pada “ Asas Stare Decisis/Binding Force of Precedent ” yaitu : Asas yg mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan2 hakim yg telah ada dalam kasus2 yg sama.


Kedudukan Putusan Pengadilan.
Putusan berdasarkan asas presedent ini mempunyai kekuatan yg mengikat (binding anthonity)
2. Statute Law.
Legislatif → Statute Law ( hokum tertulis ).
Statute Law ini berasal dari undang2 yg dibuat oleh DPR nya baik putusan “Hose of Law” maupun “House of Common”. Hukum tertulis Statute law ini tidak di muat dalam suatu kitab undang2 atau terkodifikasi tetapi tersebar sesuai tindak pidana yg telah diatur.
Misalnya :
Indonesia ada KUHP, KUHPerdata dan KUHD yg terkodifikasi kalau di Inggris tidak ada mereka hanya bersifat tertulis saja seperti Undang2 di Indonesia seperti UU Narkotia, UU Korupsi dan lainnya.


Kedudukan/ekuatan Putusan Pengadilan
Statute Law juga mempunyai keuatan hokum mengikat (binding anthonity). Sama dengan Common Law.

3. Doktrin.
Selain Common Law dan Statute Law sebagai sumber hokum pidana Inggris ada juga Doktrin sebagai sumber hokum. Doktrin bias digunakan oleh hakim jika aturannya tidak diatur dalam undang2 atau Common Law. Doktrin disini merupakan harus doktrin yg dibuat dalam teks books.
Misalnya :
 Fostesr Crown Law (1762)
 Black Stones Commentarics (1765)

Kedudukan/kekuatan Putusan Pengadilan
Doktrin hanya mempunyai kekuatan persuasi yaitu : dorongan yg kuat saja untuk hakim dari pendapat ahli hokum yg terkenal.

Beberapa Undang2 (Statute Law) Inggris
1. Undang2 mengenai tindak pidana terhadap orang (1861)
2. Undang2 tindak pidana pembunuhan yg disebut : Homiede Aet (1957)
3. Undang2 penghapusan pidana mati (1965)
4. Undang2 mengenai Abortus (1968)
5. Undang2 mengenai pembajakan pesawat udara (1971) dan beberapa lainnya

Asas-asas Hukum Pidana Inggris
1. Asas Legalitas.
Mula2 secara formal Inggris menganut asas Legalitas dalam arti materil karena ada Case Law dan ajaran Presedent itu. Tapi sejak 1972 setelah ‘Hose of Law” melarang hakim menciptakan/memperluaskan delic yg telah ada dalam Statute Law maka Inggris secara formal sudah mengikuti asas legalitas karena sudah ada undang2 yg di buat Hose of Law agar hakim mengikuti undang2 tertulis. Kecuali jika tidak diatur dalam undang2, baru dapat digunakan Case Law.
2. Asas Means Rea.
Asas Means Rea disebut : Actus non Facit reumisimens sizmen istilah ini berasal dari bahasa Latin yg artinya : Suatu perbuatan tidak mengakibatkkan orang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Means Rea ini sendiri berarti sikap batin yg jahat. Walaupun tidak ada dalam Undang2 asas means rea tetap digunakan.


3. Asas Strict Liability ( pertanggung jawaban tanpa kesalahan )
Walaupun di Inggris menganut asasMeans Rea tetapi ada beberapa delic tidak mensyaratkan Means Rea yg penting sudah terjadi Actus Neusnya (perbuatan lahir yg terlarang). Strict Liabilty ini pada dasarnya di tentukan dalam undang2 (statute law).

Strict Liability ada 3 macam:
1. Public Misance (gangguan terhadap ketertiban umum)
2. Criminal Libel (penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik)
3. Contempt of Count (gangguan ketertiban di Peradilan) Misalnya : mengancam Jaksa, hakim dan Saksi.

4. Asas Vicarious Cialibity (peertanggung jawaban atas keasalahan orang lain)
Contoh : Turut serta dalam pembunuhan, kalau di Indonesia di hokum sama sedangkan Inggris dihukum satu tergantung perbuatan yg dilakukan.

Ada 2 ketentuan yg berlaku di Inggris
a. Menurut Common Law
Dalam ketentuan umum common law bahwa seseorang tidak dapat dipertanggung jawaban secara Vicarious kecuali dalam Public Misace/criminal Label.
b. Menurut Statute Law
Vicarious dapat dipertanggung jawabkan dalam 2 hal yaitu :
 Adanya prinsip pendelegasian wewenang.
 Apa bila perbuatan itu secara hokum dipandang sebagai perbuatan majikan
Prinsip kedua ini banyak diterapkan dalam kasus2 dimana undang2 menggunakan kata kerja Selling atau Using.

Unsur-unsur Tindak Pidana di Inggris
1. Actus Neus adlah Perbuatan lahir yang terlarang.
2. Means Rea adlh Sikap batin yang jahat atau tercela.

Unsur tindak pidana dalam Means Rea ada macam :
a. Nitetion (Pimposely) adlh sengaja dengan maksud
b. Rechlessness (sembrono) adlh mengambil resiko yg salah dengan sengaja
c. Negligence (kealpaan)

Unsur kulpa ada 2 yaitu :
a. Kurangnya hati-hati
b. Kurangnya duga-duga

Hukum Administrasi Negara Khusus IZIN DAN DAFTAR USAHA PERDAGANGAN

A. Pengertian Izin dan Usaha Dagang.
Izin dengan istilah lain yaitu vergunning menurut Prajudi Atmosoedirdjo adalah dispensasi dari suatu yang di larang. Pada dasarnya “melarang” dan sebaliknya yang pada dasranya “tidak melarang” suatu perbuatan tetapi untuk dapat melakukannya disyaratkan dengan prosedur tetentu yang harus dilalui. Jadi izin merupakan dispensasi dari suatu larangan yang bersifat komersial dan akan mendatangkan keuntungan atau laba (begunstigende beschikkingen). Izin ini suatu keputusan yang datang dari pejabat tata usaha Negara. Misalnya Izin mendirikan Usaha Dagang. Pengertian mengenai izin masih dianggap sangat umum karena banyak para sarjana yang memberikan pengertian dari sudut pandangnya masing-masing.

Usaha Perdagangan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh satu orang, dua orang atau lebih untuk memperoleh hasil (keuntungan) dari dagangannya. Objek yang diperdagangkan boleh apa saja asal objeknya jelas, mempunyai kausal yang halal dan tidak di larang oleh undang-undang.

B. Pendirian Perusahaan Usaha Perdagangan.
Prosedur yang harus di tempuh menurut KUHD adalah sebagai berikut :
Akta pendirian perusahaan yang dibuat dalam akta otentik, persetujuan Menteri Kehakiman RI, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat kedudukan perseroan dan diumumkan dalam berita Negara RI
.
Akta pendirian harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan ancaman akan batal. Maksudnya akta pendiriannya harus dibuat sesuai dengan undang-undang, dibuat didepan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Misalnya dikantor Notaris. Kemudian akta tersebut diajukan kepada Menteri Kehakiman RI untuk memperoleh persetujuan.

Ada suatu hal yang perlu dicatat, yaitu surat keputusan persetujuan Menteri Kehakiman RI memuat klausula yang berbunyi : Suatu perusahaan baru dianggap Badan Hukum setelah mendapat mendapat pengesahan Departemen Kehakiman, pendaftran pada Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan pengumuman dalam berita Negara RI.

C. Tata cara untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perdagangan dan Wajib Daftar.
Dalam rangka memperlancar perizinan di bidang perdagangan, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan ketentuan dan tata cara pemberian Surat Izin Usaha Dagang (SIUP) yang berupa keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 408/MPP/10/1997 yang bertepatan tanggal 3 Oktober 1997. Salah satu dari ketentuan tersebut adalah Setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib memperoleh perizinan di bidang perdangan. Perizinan tersebut meliputi, antara lain:
 Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP)
 Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

Kemudian ada ketentuan Menteri Perindustrian dan perdagangan yang memperjelaskan lagi bahwa :
Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan nilai Investasi seluruhnya mencapai Rp.200.000.000., tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memperoleh tanda daftar usaha perdagang yang diberlakukan sebagai surat izin usaha perdagangan.
Jadi setiap usaha perdagangan harus mendapat perizinan dari pemerintah, apabila tidak ada surat izin akan dikenakan sanksi. Baik itu sanksi denda maupun administratife.
Namun walaupun demikian ada pengecualiannya yaitu ada perusahaan-perusahaan perdangan yang dibebaskan dari tanda daftar usaha perdagangan atau surat izin usaha perdagangan yaitau :
 Cabang perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan usaha perdagangan dengan mempergunakan tanda usaha perdagangan atau surat izin usaha perdagangan pusat.
 Perusahaan yang telah mendapatkan izin usaha yang setara dari Departemen Teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Perusahaan yang didirikan dalam rangka undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
 Badan Usaha Milki Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Disamping itu, untuk perusahaan kecil perorangan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut :
o Tidak terbentuk Badan Hukum atau Persekutuan
o Kegiatannya dilakukan di jalan atau dikelola sendiri tidak memakai pekerja yang di gaji khusus.
o Pedagang keliling, pedagang pinggir jalan atau pedagang kaki lima.

Wajib daftar perusahaan secara sepintas tampaknya adalah hanya masalah teknis administrasif. Wajib pendaftran ini juga diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1982, yang disebutkan bahwa. Dan dasar hokum penyelenggaranya adalah keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 12/MPP/Kep/1998 tentang Penyelenggara wajib daftar perusahaan.

Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftran yang ditetapkan oleh Menteri kantor pendaftaran perusaan yaitu ditempat kedudukan, yaitu :
 Kantor Perusahaan
 Setiap kantor cabang, kantor pembantu perusahaan atau kantor anak perusahaan
 Setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan tidak dapat didaftarkan diatas, pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftran perusahaan di ibu kota Provinsi tempat kedudukannya.

Perusahaan yang tidak wajib daftar adalah Setiap Perusahaan Negara (Perjan) seperti diatur dalam UU No.9 tahun 1969 Lembaran Negara 1969 No.40 dan setiap perusahaan kecil perorangan yang dijalankan oleh pribadi pengusahanya sendiri atau hanya memperkerjakan anggota keluarganya sendiri yang terdekat serta tidak memerlukan izin usaha dan tidak merupakan suatu badan hukum atau suatu persekutuan.

Tujuan pendaftaran antara lain untuk memberikan perlindungan kepada perusahaan-perusahaan yang menjalankan usahahnya secara jujur dan terbuka atau dengan itikat baik.
Pada dasarnya ada 3 pihak yang memperoleh manfaat dari daftar perusahaan tersebut , yaitu :
 Pemerintah, dalam rangka memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan termasuk untuk kepentingan pengamatan pendapatan Negara yang memerlukan informasi yang akurat.
 Dunia usaha mempergunakan daftar perusahaan sebagai sunber informasi untuk kepentingan usahanya. Juga dalam upaya untuk mencegah praktek-praktek usaha yang tidak jujur, persaingan curang, penyeludupan dan sebagainya.
 Pihak lain yang berkepentingan atau masyarakat yang memerlukan informasi yang benar.

D. Perusahaan Usaha Perdagangan dapat dijadikan Badan Hukum.
Agar perusahaan dapat meperoleh status sebagai Badan Hukum, bisa dilakukan dengan cara mengusulkan menjadi badan hukum. Badan hukum yang dimaksud disini adalah badan hukum privat atau perdata bukan badan hukum publik. Untuk menjadi Badan Hukum maka suatu Perusahaan usaha perdagangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut antara lain :
o Adanya harta kekayaan yang terpisah
o Mempunyai tujuan tertentu
o Mempunyai kepentingan sendiri
o Adanya organisasi yang teratur

Harta kekayaan yang terpisah artinya harta yang didapat dari pemasukan para anggota atau dari suatu perbuatan pemisahan dari seseorang yang diberi suatu tujuan tertentu. Harta kekayaan ini sengaja diadakan dan memang diperlukan sebagai alat untuk mengejar suatu tujuan tertentu dalam hubungan hukumnya. Sehingga harta kekayaan itu menjadi objek tuntutan tersendiri dari pihak-pihak ketiga yang mengadakan hubungan hukum dengan badan itu.
Tujuan tertentu adalah tujuan yang ideal atau tujuan yang commercieel. Tujuan tersendiri dari perusahaan perdangan itu.
Kepentingan sendiri merupakan hak-hak subjectief sebagai akibat dari peristiwa-peristwa hukum, kepentingan tersebut di lindungi oleh hukum. Mayers (63) mengatakan, kepentingan menghendaki suatu kestabilan.
Organisasi yang teratur adalah suatu konstruksi hukum. Dalam pergaulan hukum, badan hukum diterima sebagai persoon di samping manusia. Badan hukum yang merupakan suatu kesatuan sendiri yang hanya dapat bertindak hukum dengan organnya, dibentuk oleh manusia merupakan badan yang mempunyai anggota korporasi atau merupakan badan yang tidak mempunyai anggota seperti yayasan.


DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Philipus M, Sjachran Basah, dkk. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Rido, R. Ali. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung : PT. Alumni.
Widjaya, I.G. Rai. 2003. Hukum Perusahan. Jakarta : Kesaint Blanc.

(LANDAS KONTINEN, PENYELESAIAN SENGKETA, PENCEMARAN LAUT, PELAYARAN DAN PENERBANGAN, ZEE DAN LAUT TERITORIAL)

BAB : I
LAUT TERITORIAL

A. Pengertian Laut Teritorial

Adapun difinisi dari laut territorial ini laut wilayah territorial adalah bagian dari perairan nasional, berupa suatu jalur laut, yang terletak sepanjang pantai dan ada di sebelah luar (di sisi laut) dari garis pangkal dan yang di batasi oleh batas luar laut wilayah. Atau bagian dari perairan nasioanal, berupa suatu jalur laut, di sepanjang pantai yang terletak antara garis pangkal dan garis batas luar laut territorial.
Konferensi Den Haag pada tahun 1930 tentang Laut Teritorial telah sempat mengalami kegagalan, Namun kegagalan itu tidak dapat dikatakan gagal total karena konferensi ini juga telah memberikan ruang lingkup yang jelas tentang apa itu laut territorial sebagaimana diatur dalam pasal 1 dan 2 dari konvensi ini. Pasal 1 pasal tersebut mengatakan bahwa wilayah Negara pantai meliputi pula ruang udara di atas territorial demikian pula dasar laut dari pada laut territorial dan tanah dibawahnya. Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 merupakan penegasan dari pada sifat sifat tiga dimensi dari pada laut territorial yang hingga waktu itu belum dinyatakan setegas demikian.

B. Beberapa hak-hak Negara pantai di laut territorial
a. Hak Lintas Damai.
Pasal 3 sampai dengan pasal 7 Konferensi ini menegaskan Hak lintas damai (innocent passage) kapal-kapal asing melalui laut territorial. Pasal-pasal ini selanjutnya menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik dari pada Negara pantai maupun kapal yang lewat. Pasal 3 ayat 1 memuat ketentuan memgenai pengertian dari pada lintas (passage) dengan menetukan bahwa lintasan adalah berlayar melalui laut territorial, baik untuk melewati tanpa masuk ke dalam perairan pedalaman maupun untuk masuk ke perairan pedalaman demikian pula menuju laut bebas setelah meninggalkan laut pedalaman. Pengertian Lintas Damai diatur dalam ayat 2 dengan pengertian yang negative yaitu Suatu lintasan bukan merupakan lintas damai apabila kapal asing menggunakan laut territorial suatu Negara untuk melakukan perbuatan yang merugikan keamanan, ketertiban umum atau kepentingan kapal fiscal Negara tersebut. Pasal 4 menetukan bahwa Negara pantai tidak menghalang-halangi lintas damai kapal asing melalui laut territorial yang dalam melakukan lintas damai melalui territorial kapal selam diharuskan untuk lewat pada permukaan. Selanjutnya pasal 5 menetapkan bahwa adanya hak lintas damai kapal asing tidak mengurangi hak Negara pantai untuk mengambil segala tindakan yang di perlukan untuk mencegah terjadinya segala gangguan terhadap keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan fiscal.

Yang harus ditaati oleh kapal asing dalam melaksanakan hak lintas damai (pasal 6) antara lain yaitu :
1. Peraturan-peraturan keselamatan pelayaran dan keamanan lalu lintas serta cobatage.
2. Perlindungan perairan Negara pantai terhadap bahaya pencemaran yang mungkin disebabkan oleh lalu lintas kapal.
3. Perlindungan sumber kekayaan laut.
4. Perlindungan perikanan perburuan dan hak-hak serupa yang dimilki Negara pantai.

Menurut pasal 19 UNCLOS 1982 Lintas suatu kapal asing harus di anggap membahayakan kedamaian ketertiban atau keamanan Negara pantai apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan satu salah kegiatan sebagai berikut :
1. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasioanal sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata maca,m apapun.
3. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
4. Setiap perbutan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
5. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer.
6. Bongkar atau setiap komoditi mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, iimigrasi atau saniter Negara pantai.
7. Setiap perbuatan pencemaran demnga sengaja clan parah yang bertentangan dengan konvensi ini.
8. Setiap perbuatan perikanan dan kegiatan riset atau survey.
9. Setiap perbutan yang bertujuan menganggu system komunikasi atau setiap fasilitas atau instalansi lainnya Negara pantai.
10. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan lansung dengan lintas.

b. Hak untuk membuat peraturan perundang- undangan Negara pantai yang bertalian dengan lintas damai.
Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 21 UNCLOS 1982 yang menyatakan :
Negara pantai dapat membuat peraturan perundand-undangan sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang bertalian dengan lintas damai melalui laut territorial mengenai semua atau setiap hal :
1. Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas Maritim
2. Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya
3. Perlindunga kabel, pipa laut dan konservasi kekayaan hayati laut
4. Pencegaha pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai
5. Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan pengurangan dan pengendalian pencemarannya
6. Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi
7. Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter Negara pantai

Peraturan perundang-undangan demikian tidak berlaku lagi disain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau stndar internasional yang diterima secara umum.negara pantai hanya mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut sebagai mana mestinya. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum.

c. Hak untuk mengatur Alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut territorial.
Ketentuan ini diatur dalam pasal 22 UNCLOS 1982 yang menyatakan, Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang dapat ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lalu lintas. Khususnya kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau barang atau barang lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur laut yang demikian. Dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas menurut pasal ini, Negara pantai harus memperhatikan :
1. Rekomendasi organisasi internasioanal yang kmopeten
2. Setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional
3. Sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu, dan
4. Kepadatan lalu lintas

Negara pantai harus mencantumkan secara jelas alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian pada peta yang harus di umumkan sebagaimana mestinya.


d. Hak untuk mengatur kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau badan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun.
Ini di atur dalam pasal 23 UNCLOS 1982 yang menyatakan, Kapal asing bertenaga nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasioanal bagi kapal-kapal demikian.

e. Hak perlindungan Negara pantai.
Hal ini di atur dalam pasal 25 UNCLOS 1982 yaitu, Negara pnatai dapat mengfambil langkah yang diperlukan oleh laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai. Dalam hal kapal yang menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, negra pantai juga mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke pwrairan pedalaman atau persingghan demikian. Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata diantara kapal asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing apabila penagguhan demikian sangat diperluakan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan pelatihan senjata. Penagguhan demikan berlaku hanya setelah di umumkan sebagaimana mestinya.


f. Hak untuk mmengambil pengumutan yang dapat dibebankan pada kapal asing.
Landasanya di atur dalam pasal 26 yang menyatakan, Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut territorial. Pungutan dapat dibebankan pada kapal asing yang melintasi laut territorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. Pungutan ini harus di bebankan tanpa diskriminasi.

C. Kewajiban Negara pantai di laut teritorialnya.
Kewajiban ini di atur dalam pasal 24 yang menyatakan :
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut territorial kecuali sesuai dengan ketentuan konvensi ini. Dalam penerapan konvensi ini atau setiap perjanjian perundang-undangan yang dibuat sesuai konvensi ini Negara pantai khususnya tidak akan :
1. Menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis beraikat penolakan atau pengurangan hak lintas damai.
2. Menagadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara dimanapun atau terhadap kapal yang mengangkut muatan ke dari atau atas nama Negara manapun.

Negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketauhinya.


BAB II
LANDAS KONTINEN

A. Pengertian Landas Kontinen.
Menurut UNCOLS 1982 landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut territorial yang merupakan kelanjutan lamiah dari daratan sampai ke batas terluar tepian kontinen atau sampai jarak 200 mil laut di ukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial apabila sisi terluar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Kalau kita lihat dari pengertian ini berbeda dengan pengertian yang terdapt dalam konvensi Genewa 1985 dimana dalam konvensi Jenewa batas terluar itu sampai kedalaman 200 meter dan kriteria eksploitabilitas dig anti oleh kriteria geologis serta kriteria jarak 200 mil batas.

B. Hak-hak Negara pantai atas landas kontinean.
Mengenai hak Negara pantai atas landas kontinen memerlukan sekedar uraian karena hak-hak kedaulatan untuk melakukan ekploirasi dan exploitasi kekayaan alam merupakan suatu konsep baru. Hak-hak Negara pantai sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 konvensi ke IV, merupakan kompromi antara pendirian pihak yang menghendaki pengakuan kedaulatan Negara pantai atas landas kontinen deangan pihak yang hanya mau mengakui hak-hak lebih terbatas. Bahwa hak-hak kedaulatan untuk ekploirasi dan eksploitasi tidak sama dengan kedaulatan penuh Negara pantai, jelas tamapak apabila di hubungkan dengan pasal 3. Pada pasal 3 juga menyatakan bahwa hak-hak Negara pantai atas landas komtinen tidak tergantung dari okkupasi atau suatu claim yang dinyatakan secara tegas mengahiri suatu keraguan yang hingga kini meliputi persoalan dataran kontinen (continental shelf).
Hak-hak Negara pantai atas landas kontinen harus mematuhi ketentuan yang ada dalam pasal 4 yang menegaskan, bahwa dalam melaksanakan haknya untuk melakukan ekpolirasi landas kontinen dan ekploitasi dari pada kekayaan alam di dalamnya, Negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pemasangan kabel-kabel dan saluran-saluran pipa di atas dasar laut landas kontinen. Kemudian dalam pasal 5 juga menjelaskan yang mana pelaksanaan hak-hak Negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan kekayaan hayati laut dan tidak boleh pula menganggu penyelidikan oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan ( ayat 1).


BAB : III
ZONA EKONOMI EKLUSIF

A. Pengertian Zona Ekonomi Eklusif.
Seperti yang terdapat dalam UNCLOS 1982 Zona Ekonomi Eklusif adalah Suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan. Di mana hak-hak yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, di atur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dari konvensi.
Zona Ekonomi Eklusif mempunyai lebar yang tidak boleh melebihi dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial di ukur.
Rezim tentang hukum internasioanal telah mendapat respon dari masyarakat internasional hal itu dapat kita lihat bahwa rezim hukum internasional tentang ZEE yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasioanal dimaksudkan untuk :
1. Melindungi Negara pantai dari bahaya kemungkinan dihabiskannya sumber daya alam hayati didekat pantainya oleh kegiatan Negara-negara lain dalam mengelola perikanan berdasarkan rezim laut bebas.
2. Melindungi kepentingan-kepentingan Negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dengan upaya memanfaatkan sumber daya alam di zona tersebut.

B. Hak-hak Negara Pantai di ZEE.
Hak-hak yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam ZEE, antara lain :
1. Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati dari perairan atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut.
2. Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenaan dengan :
 Pembuatan dan pemakaian pulau buatan instalasi dan bangunan
 Riset ilmiah kelautan dan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
3. Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam konvensi ini.

Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini dlam ZEE, Negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.





Hak-hak untuk membuat pulau-pulau buatan, instalasi dan bangungan-bangunan di ZEE.
Di ZEE Negara pantai mempunyai hak ekslusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan mengatur pembangunan operasi dan penggunaan :
1. Pulau buatan
2. Instalasi dan bangungan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 dan tujuan ekonomi lainnya.
3. Instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut.

Hak penegakan peraturan perundang-undangan Negara pantai.
Negara pantai dapat melaksanakan hak kedaulatannya untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE mengambil tindakan demikian termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap, melakukan proses peradilan sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
Kapal-kapal yang di tangkap beserta awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan sejumlah uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencangkup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antar Negara- Negara yang bersangkutan atau setiap hukuman badan lainnya. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.


BAB : IV
PENYELESAIAN SENGKETA

A. Pendahuluan
Prosedur penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan penerapannya dengan tepat dan efisien sangat penting bagi perjanjian-perjanjian internasioanal. Namun hal ini tidak berlaku bagi konvensi hukum laut PBB. Bukan hanya sulit dalam memahami ketentuan-ketentuannya tapi juga karena adanya pasal-pasal yang dapat ditafsirkan bermacam-macam. Prinsip dasar dalam menyelesaikan sengketa itu bebas artinya boleh memilih melalui berbagai cara sendiri asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum internasional yang ada.
Langkah awal dalam menyelesaikan suatu sengketa adalah melalui perjanjian. Karenanya pasal 283 menekankan perlunya bertukar pandangan mengenai cara-cara bagaimana sengketa itu diselesaikan. Suatu Negara yang bersengketa mengenai penafsiran dan penerapan konvensi, bias juga mengundang pihak atau para pihak lain untuk menyerahkan sengketa itu kepada konsiliasi sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam Annex V konvensi (pasal 284)

B. Prosedur yang Wajib untuk Mencapai Suatu Keputusan Mengikat.
Ketika mendatangani, meratifikasi, atau mengikat diri kepada konvensi atau beberapa waktu kemudian setelah itu, Negara-negara dapat memilih satu atau lebih cara penyelesaian sengketa :
1. Mahkamah Internasional Hukum Laut
2. Mahkamah Internasional
3. Mahkamah Arbitrase
4. Untuk beberapa sengketa tertentu, Arbitrase Khusus (pasal 296).
Apabila suatu Negara tidak memilih cara penyelesaian maka Negara itu dianggap telah menerima menerima mahkamah Arbitrase sebagaimana dalam poin 4 di atas. Para pihak dapat pula mengikuti prosedur yang berbeda (pasal 287 ayat 4 dan ayat 5). Keputusan pengadilan atau mahkamah, sebagaimana diatur dalam pasal 287 bersifat final dan mengikat (pasal 296). Keputusan-keputusan itu didasarkan kepada konvensi dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lain. Perkara atau sengketa tersebut dapat pula di putuskan secara ex aequo et bono apabila para pihak menyetujuinya (pasal 293) dan, atas permintaan Negara bendera kapal, dapat memerintah pembebasan kapal atau awak kapalnya yang ditahan oleh Negara lain (pasal 292).
Setiap sengketa mengenai apakah pengadilan atau mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap sesuatu sengketa, harus diputuskan oleh pengadilan atau mahkamah itu sendiri ( pasal 288 ayat 4 ). Ketentuan terahir ini penting karena konvensi menyampingkan beberapa kategori sengketa tertentu, yaitu :
a. Pasal 297 menetapkan bahwa sengketa-sengketa mengenai pelaksanaan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi oleh suatu Negara pantai harus tunduk kepada prosedur-prosedur penyelesaian wajib yang mengikat untuk kasus-kasus khusus tertentu :
 Tuduhan Negara pantai tentang pelanggaran kebebasan oleh Negara lain didlam ZEEnya sesuai dengan pasal 58 knvensi.
 Tuduhan Negara lain dalam melaksanakan kebebasannya bertentangan dengan hak-hak Negara pantai di ZEE.
 Tuduhan pelanggaran oleh Negara pantai terhadap peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan internasional untuk perlindungan lingkungan laut (pasal 297 ayat 1).
b. Terlepas dari pengecualian terhadap prosedur wajib untuk penyelesaian sengketa, suatu Negara juga dapat membuat pengecualiannya sendiri. Pasal 298 mengizinkan Negara-negara untuk tidak menerima prosedur yang menyangkut :
 Sengketa-sengketa yang menyangkut pasal 15, 74 dan 83 ( delimitasi laut territorial, ZEE, dan landas kontinen antar Negara yang berdekatan atau berhadapan)
 Sengketa mengenai aktifitas militer dan,
 Sengketa-sengketa yang dibahas oleh dewan keamanan PBB. Apabila sengketa-sengketa yang terdapat pada point 1 di atas dikesampingkan maka setiap sengketa yang timbul setelah konvensi berlaku, harus diserahkan kepada konsiliasi setelah jangka waktu tertentu.

BAB : V
PENCEMARAN LAUT

A. Pendahuluan.
Dalam konvensi 1985 tentang laut lepas, hanya ada dua ketentuan tentang masalah pencemaran laut, sedangkan konvensi yang baru ini meuat suatu hal tersendiri yang berisikan pasal 45 pasal. Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan ini tidak begitu banyak menetapkan tindakan-tindakan konkret yang harus dilakukan, tetapi lebih bertujuan untuk menciptakan suatu kerangka guna melaksanakan perangkat-perangkat konkret yang dapat dilaksanakan tersebut. Keadaan umum ketentuan-ketentuan itu tampak pada pasal 237 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan konvensi yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan laut tidak mengenyampingkan kewajiban-kewajiban Negara-negara melalui konvensi-konvensi dan persetujuan-persetujuan khusus.
Perundingan-perundingan tentang perlindungan lingkungan laut berlansung sangat berlarut-larut. Terdapat perbedaan pendapat yang tajam mengenai masalah yurisdkisi Negara pantai atau Negara pelabuhan terhadap kapal-kapal asing. Bnyak Negara pantai menuntut pemberian yurisdiksi atas perairan mereka (termasuk ZEEnya) untuk menetapkan peraturan-peraturan tentagng pencemaran laut oleh kapal, dan juga mereka harus diberi yurisdiksi untuk memaksakan pentaatan terhadap peraturan-peraturan tersebut.

B. Pencemaran laut selain oleh kapal.
Penetapan Peraturan.
Pasal 207-212 menyangkut berbagai bentuk pencemaran laut dan merinci Negara-negara mana yang diwajibkan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum :
1. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah pencemaran lingkungan laut dari sumber didarat. Dalam pelaksanaannya mereka wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan, standar-standar, praltewk-praktek dan prosedur –prosedur internasional yang telah disetujui. Negara-negara selanjutnya diwajibkan berusaha sungguh-sungguh nuntuk menetapkan peraturan-peraturan, standar-standar dan prosedur-prosedur internasional (pasal 207).
2. Negara-negara pantai harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah pencemaran laut yang timbul dari kegiatan-kegitan didasar laut yang tunduk kepada yurisdiksi mereka dan dari pulau-pulau bauatan yang berada dibawah yurisdiksi mereka dan dari pulau-pulau buatan yang berada dibawah yurisdiksi mereka. Efektifitas tindakan-tindkan tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan-ketentuan, standar-standar praktek-praktek dan prosedur-prosedur internasional. Negara-negara wajib menetapkan ketentuan-ketentuan internasioanal tersebut dan lain sebagainya (pasal 208)
3. Otorita dasar laut internasional harus menetapkan peraturan-peraturan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran dan bahaya-bahaya lain terhadap lingkungan laut yang timbul dari eksplorasi dasar samudra dalam (pasal 145 dan 203).
4. Negara-negara diwajibkan untuk menetapkan peraturan perundang-udangan mengenai pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh pembuangan (dumping), sebagaimana yang diartikan oleh pasal 1 konvensi. Peraturan perundang-undangan tersebut harus menjamin bahwa pembuangan tidak dilakukan tanpa izin dari suatu Negara. Negara-negara selanjutnya harus berusaha untuk menetapkan ketentuan-ketentuan, standar-standar, praktek-praktek dan prosedur-prosedur global dan regional tentang pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan. Pembuangan di laut territorial dan ZEE atau dilandas kontinen harus dengan izin terlebih dahulu dari Negara pantai (pasal 210).
5. Dengan tujuan untuk mencegah pencemaran laut melalui atmosfir, Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap ruang udara dibawah kedaulatannya, terhadap kapal-kapal yang mengibarkan benderanya dan pesawat udara yang terdaftar di negaranya. Di sini kembali Negara-negara untuk berusaha menetapkan ketentuan-ketentuan standar-standar, praktek-praktek dan prosedur-prosedur global dan regional (pasal 212).


C. Pencemaran oleh kapal.
Penetapan Peraturan
Negara-negara bendera harus menetapkan peraturan perundang- undangan bagi pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran oleh kapal-kapal yang berkebangsaan mereka. Tindakan-tindkan tersebut sedikitnya harus sama efektifnya dengan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum. Mengenai yurisdiksi khusus Negara pantai atau Negara pelabuhan ditetapkan bahwa:
1. Suatu Negara, baik sendiri ataupun bekerja sama dengan Negara lain, menetapkan persyaratan-persyaratan khusus untuk pencegahan pencemaran, sebagai suatu syarat pemberian akses ke salah satu pelabuhannya, ke perariran pedalamannya atau terminal lepas pantainya. Negara tersebut harus mengumumkan pesyaratan-persyaratan tadi dan harus menyampaikannya kepada organisasi internasional yang kompeten ( antara lain : Internasional Maritime Organization). Kewenangan ini secara tegas dinyatakan sebagai tanpa menyampaikan hak lintas damai ( pasal 211 ayat 3).
2. Di laut teritorialnya, suatu negara pantai dapat menetapkan peraturan perundang-undangan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut dari kapal asing, walaupun peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh menghalangi hak lintas damai (pasal 211 ayat 4)
3. Kewenangan suatu negara pantai di ZEE lebih terbatas. Untuk tujuan pelaksanaan atau penegakan, negara tersebut dapat menetapkan peraturan perundang-undangan sepanjang sesuai dan merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum (pasal 211 ayat 5).


BAB : VI
PELAYARAN DAN PENERBANGAN

A. Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial.
Apabila suatu Negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap perairan pedalamannya, kapal-kapal asing didalam perairan tersebut tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai. Ini berarti bahwa Negara pantai mengatur pelayaran diperairan tersebut dan sebagai akibatnya Negara pantai mempunyai hak untuk membatasi atau bahkan melarang pelayaran diperairan tersebut, walaupun Negara pantai diharapkan akan memberikan pemberitahuan yang memadai mengenai tindakan-tindakan tersebut. Bagaimanapun diperairan pedalaman yang terbentuk sebagai hasil penerapan system garis pangkal lurus, terdapat kekecualian terhadap hal ini dimana hak lintas damai melalui laut wilayah (yang terbentuk) tetap berlaku (pasal 8 ayat 2). Kapal-kapal perang asing juga merupakan suatu kekecualian, karena yurisdiksi Negara pantai tidak berlaku diatas kapal-kapal tersebut, dan hal yang sama berlaku terhadap kapal-kapal milik Negara lainnya yang dioperasikan untuk tujuan-tujuan non-komersial, walaupun tidak sepenuhnya jelas kapal-kapal apa yang dimaksud oleh gagasan ini. Pengecualian yang disebutkan terahir ini terhadap yurisdiksi Negara pantai berasal dari prinsip umum hukum internasional bahwa tidak satupun Negara mempunyai yurisdiksi terhadap suatu Negara lainnya.

Pasal 17 memberikan hak lintas damai kepada semua kapal yang melalui laut wilayah sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi. Ketentuan itu antar lain :
Konvensi memberi difinisi tentang konsep ‘lintas’ dan ‘damai’. Lintas termasuk baik melintasi laut tertorial tanpa memasuki perairan pedalaman (atau berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pekabuhan di luar perairan tersebut), dan (melintasi) laut territorial ke atau dari perairan pedalaman, atau berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan diluar perairan tersebut. Lintas termasuk berhenti dan membuang sauh, tetapi hanya sepanjang ada hubungannya dengan pelayaran biasa atau dipandang perlu karena ‘force majeure’ atau keadaan darurat (pasal 18). Pasal 19 menyatakan bahwa lintas adalah dami sepanjang sepanjang tidak merugikan perdamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai, dan selanjutnya pasal ini memberikan suatau daftar lengkap tentang kegiatan-kegiatan tidak damai. Menurut pasal 20, kapal-kapal selam diwajibkan berlayar dipermukaan dan menunjukakan bendera mereka. Sebagaiman telah ditetapkan dalam pasal 24. Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai, namun Negara tersebut dapat melakukannya bila lintas tidak damai, dan dapat juga menangguhkan hak lintas damai didaerah-daerah tertentu dari laut wilayahnya bila penagguhan itu penting untuk perlindungan keamanannya (pasal 25). Kapal-kapal dagang yang melaksanakan hak lintas damai pada prinsipnya tidak tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai, tetapi konvensi menetapkan sejumlah pengecualian terhadap prinsip ini (pasal 27 tentang yurisdiksi criminal dan pasal 28 tentang yurisdiksi perdata). Sekali lagi kapal-kapal perang dimasukkan kedalam suatu kategori tersendiri, mereka tidak pernah tunduk kepada yurisdiksi Negara pantai, meskipun Negara itu dapat mewajibkan mereka untuk meninggalkan laut tertorialnya dan (dalam pada itu) Negara bendera bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kapal-kapal peranganya (pasal 29-32).

B. Selat-selat dan kepulauan
Ketentuan-ketentuan khusus mengenai selat-selat berlaku bagi selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang terletak antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan bagian lain dari laut lepas atau ZEE, apabila tidak rute alternatif yang sama fungsinya (pasal 37 dan 36). Pada selat-selat demikian, kapal-kapal dan pesawat udara dapat menikmati hak lintas transit dalam bentuk kebebasan pelayaran dan penerbangan hanya untuk melintasi selat secara terus menerus dan cepat. Hak lintas transit tidak berlaku terhadap selat-selat internasioanal yang terletak anatara sebuah pulau yang merupakan bagian dari suatu Negara pantai dan daratan utamanya apabila pada sisi kearah laut dari pulau itu ada rute yang sama fungsinya (pasal 38), walaupun dalam hal demikian tentu saja masih terdapat hak lintas damai (pasal 45). Negara yang berbatasan dengan selat tidak dapat mengahalangi atau menangguhkan lintas transip (pasal 44).

Kapal-kapal dan pesawat udara yang melaksanakan lintas transit harus lewat dengan cepat, harus menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap Negara yang berbatasan dengan selat, menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus lansung dan secepat mungkin dan harus menaati peraturan-peraturan internasional yang telah diterima (pasal 39). Bagaimanapun suatu negara yang berbatasan dengan selat dapat mewajibkan kapal untuk mengikuti rute-rute khusus untuk lintasnya melalui selat, walaupun rute-rute tersebut harus sesuai dengan peraturan-peraturan internasional yang diterima umum dan terlebih dahulu harus disampaikan kepada organisasi internasional yang berwenang (pasal 41). Yang dimaksudkan dalam ketentuan terahir ini adalah ‘international maritime organization’ sebagai tambahan, Negara tersebut dapat membuat peraturan perundang-undangan tentang kapal-kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas transit (pasal 42).


DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmdja, Mochtar. Hukum Laut Internasional. 1987. PT.karya Nusanntara cet
Pertama : Bandung.
Koers, Albert w. Konvensi PBB Tentang Hukum Laut. 1994. Gajah Mada Press :
Yogyakarta.
Subayo, P. Joko. Hukum Laut Indonesia. 2002. Rineka Cipta :Jakarta.
UNCLOS 1982

PENEGAKAN HUKUM DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pada saat sekarang maupun pada zaman dulu secara sadar atau tidak sadar warga Negara pada umumnya selalu berhubungan dengan aktifitas birokrasi pemerintahan. Tidak henti-hentinya orang harus berurusan dengan birokrasi, sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Setidaknya pada masa dalam kandungan kita sudah diperiksa ke Puskesmas yang tentunya memperoleh subsidi pemerintah, baik di swasta maupun pemerintahan. Disamping itu pada saat kita dilahirkan juga berurusan dengan pemerintahan pemerintahan, contohnya pada saat membuat akta kelahiran. Dan contoh pada saat meninggal dunia membuat akta kematian yang dibuat oleh pemerintahan, yaitu dalam hal ini sama-sama di catat oleh pihak pencacatan sipil.

Beranjak dari situ setelah dewasa orang akan membutuhkan KTP yang di keluarkan oleh aparatur pemerintahan dan banyak lainnya yang urusannya juga berurusan dengan pemerintahan. Begitu luas ruang lingkup jasa pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga semua orang mau tidak mau harus menerima bahwa intervensi birokrasi melalui pelayanan umum, itu absah adanya. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan etis akan muncul sehubungan dengan kurangnya perhatian Cancen para aparatur birokrasi terhadap kebutuhan warga Negara pada umumnya. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana saja, pengguna jasa sering dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang terkadang mengada-ada. Kita sering melihat antrian panjang orang-orang yang akan membayar rekening listrik PLN, pada saat membayar pajak, urusan-urusan STNK dan SIM di Bank, di kantor-kantor pemerintah daerah atau di rumah sakit. Di samping itu juga sering terjadi diskriminasi terhadap pelayanan publik, padahal aparatur pemerintah mempunyai misi untuk melayani masyarakat dengan baik. Para pegawai tidak lagi merasa terpanggil untuk meningkatkan efesiensi dan memperbaiki prosedur kerja tetapi malahan lebih sering menolak adanya perubahan.
Etos kerja yang cenderung mempertahankan Status Quo ini telah menumbuhkan persepsi maysarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yangberbelit-belit, makan waktu lama dan menyebalkan. Sebagian masyarakat yang menginginkan proses yang cepat, tidak lama (dalam hal ini masalah urusan administrasi) misalnya mengurus Akte Tanah di kantor Badan Pertahan Nasional, maka masyarakat atau orang tersebut akan mencari berbagai cara sehingga Akta Tanahnya cepat selesai. Contohnya dengan memeberikan sejumlah uang kepada seorang pegawai di Badan Pertahan agar Akte Tanahnya cepat selesai. Di sini jelas terjadi diskriminasi dalam pelayan publik dan telah salah menggunakan kewenangan yang telah di berikan.. Padahal pegawai tersebut sebagai aparatur yang di mata masyarakat adalah orang yang melakukan penegakkan hukum, tapi malahan yang terjadi sebaliknya.

Walaupun demikian ada juga aparatur yang salah menjalankan aturan yang telah ada sehingga terjadi pelanggaran, baik itu karena kesilapan atau memang kekurangan disiplin ilmu yang dimiliki sehingga salah mengaplikasikannya. Ini semua seperti yang saya kutip atau yang dijelaskan diatas memang realitas terjadi dalam praktek pemerintahan di masa sekarang. Maka untuk itu perlu adanya penegakan hukum dan pengawasan yang efektif. Agar hal-hal seperti itu dapat diantisipasi dan tidak terjadi lagi.


B. Pokok Permasalahan.
Berdasarkan dasar-dasar persoalan di atas yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :
 Apa yang harus dilakukan sehingga Hukum Administrasi dalam pemerintahan dapat di tegakkan.
 Bagaimana kedudukan Hukum Administrasi Negara dari segi kemamfaatannya, dan
 Bagaimana menjalankan administrasi yang baik.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Menjalankan Administrasi yang baik.
Negara Indonesia sebagai Negara nasional, maka administrasi negaranyapun adalah administrasi Negara nasional mempunyai kewajiban untuk mempertinggi kepribadian nasoinal Indonesia. Sehingga kebudayaan Indonesia betul-betul mekar dan berkembang., di mana menunjukkan keagungan bangsa. Kepribadian Indonesia adalah kepribadian yang religius, dengan demikian kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang relegius juga. Oleh karena itu fungsi administrasi Negara harus menuju kearah itu, seperti yang di cita-citakan bangsa Indonesia.

 Pendapat Para Sarjana.
Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan sarjana agar hukum administrasi dapat dijalankan dengan baik, artinya dilaksanakan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, antara lain yaitu :
1. Pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau bedasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu.
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.
Pendapat P. Nicolai hampir sama dengan Teori Berge seperti dikutip Philipus M. Hadjon, yang menyatakan bahwa intrumen penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi : pengawasan dan penerapan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.

Di samping pendapat kedua diatas Paulus E. Lotulung, mengemukakan beberapa macam pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara yaitu bahwa ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan atau organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol intern dan kontrol ektern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasn itu dilakukan oleh badan yang secara organisatoris atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Sedangkan kontrol ektern adalah pengawasan yang dilakukan oleh oragn atau lembaga yang secara organisatoris atau struktural berda di luar pemerintahan.

Telah penulis sebutkan tadi di samping pengawasan, agarHukum Administrasi Negara tidak stagnan atau mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya, maka ada satu lagi yaitu sanksi. Sanksi disini merupakan bagian penting dalam setiap perundang-undangan. Bahkan J.B.J.M. tan Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari kelancaran atau penegakan Hukum Administrasi. Sanksi akan menjamin penegakan Hukum Administrasi karena sanksi salah satu intsrumen untuk memaksakan tingkah laku para warga Negara pada umumnya dan khususnya instansi pemerintah. Oleh sebab itulah sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada nama hukum tetentu.

Sanksi-sanksi yang dimaksudkan di atas antara lain :
1. Bestuursdwang (paksaan pemerintah). Bestuursdwang dapat diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata (feitelijke handeling) dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaedah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang. Penerapan sanksi ini jelas harus atas peraturan perundang-undangan yang tegas
2. Penarikan kembali keputusan atau ketetapan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan atau ketetapan yang menguntungkan tidak terlalu perlu pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak termasuk apabila keputusan atau ketetapan tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya “dapat di akhiri” atau ditarik kembali (izin, subsidi berskala). Tanpa suatu dasar hukum yang tegas untuk itu penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut. Karena bertentangn dengan azas hukum, tapi kebanyakan undang-undang modern, kewenangan penarikan kembali sebagai sanksi diatur dengan tegas.
3. Penggenaan denda administratif.
Penggenaan sanksi administratif, terutama terkenal di dalam hukum pajak yang menyerupai penggunaan suatu sanksi pidana (juga harus atas landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku)
4. Penggenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

 Menurut Undang-undang .
Menurut undang undang No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Yang di maksud dengan aparat pemerintah atau Penyelenggaraan Administrasi Negara yang baik adalah :
Aparat pemerintah yang adil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu aparat yang tidak melakukan diskriminatif penduduk, antara penduduk kaya dan yang tidak kaya.
Aparat pemerintah yang adil adalah juga aparat yang memberikan kepada pendusuk apa yang menjadi haknya. Aparat pemerintah yang bersih, artinya tanpa cacat hukum, tidak melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Aparat pemerintah yang berwibawa, yaitu aparat yang disegani oleh penduduk, bukan ditakuti.

Aparat pemerintah yang bermoral, artinya aparat yang : Mempunyai keyakinan diri, keyakinan tentang apa yang baik untuk dilakukan dan apa yang tidak baik untuk tidak dilakukan. Aparat yang dapat mengawasi diri dalam melaksanakan tugasnya, tanpa harus diawasi dari luar. Misalnya dari atasannya atau dari suatu badan pengawas. Mempunyai disiplin diri, artinya menaati dan mematuhi peraturan tanpa paksaan dari luar. Misalnya seorang bendahara mengelola uang Negara , sesuai dengan peraturan tanpa paksaan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)


Aparat pemerintah yang baik, artinya aparat yang : Berada dalam kedudukannya sebagai aparat yang ideal dan fungsional. Aparat yang ideal adalah aparat yang bekerja dengan cita-cita tinggi, bercita-cita untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dari pemerintah yang ada sebelumnya. Dan aparatur yang fungsional adalah aparat yang menjalankan fungsinya yang ulet, tekun dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika ia berkerja membumi, maka ia adalah aparat yang fungsional. Aparat yang baik merupakan Bestaandvoorwaarde artinya syarat yang harus ada untuk adanya pemerintahan yanh baik atau administrasi yang baik.

B. Tujuan Hukum Administrasi yang baik
Dalam masa modern sekarang ini yang di pentingkan bukan “Hukum” administrasi akan tetapi administrasinya dan tercapainya tujuan dari administrasi dan kemakmuran bagi masyarakat, bukan tercapainya syarat formil saja. Ivor Jenings menyatakan bahwa hukum administrasi adalah hukum yang mengenai administrasi. Logemann juga menyatakan bahwa administrasi sebagai suatu organisasi, kekuasaan (gezagsorganisatie) bukan hukumnya yang di utamakan.

Untuk sementara saya mengambil kesimpulan bahwa bukan hukum yang primair bagi pergaulan manusia. Hukum itu bukan menjadi tujuan tersendiri, akan tetapi hukum itu adalah alat belaka untuk mempertemukan lalu lintas antar manusia. Dalam pergaulan hidup manusia dibutuhkan kerja sama dalam berbagai hal agar kebutuhannya dapat dicapai, dan kerja sama ini membutuhkan suatu perasaan kepastian dan aturan-aturan yang dapat di pegang. Umpamanya dalam hal timbal balik perselisihan paham dan pertikaian. Hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan berdasarkan keseragaman dan kontinuitas perlakuan dalam hal-hal yang serupa, artinya dalam hal-hal yang sampai tidak diadakan perbedaan perlakuan, yang senantiasa berubah-ubah.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum administrasi Negara merupakan suatu aturan atau kaedah dalam pemerintahan yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan Negara dan kemakruran yang adil bagi masyarakatnya. Untuk mencapai yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macam cara baik itu melakukan pengawasan, pengusutan dan sanksi administratif. Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktifitas administrasi pemerintah dapat dijalankan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan sarjana agar hukum administrasi dapat dijalankan dengan baik, artinya dilaksanakan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, antara lain yaitu :
1. Pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau bedasarkan undang-undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu.
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintah.

Disamping itu diperlukan juga :
Aparat pemerintah yang adil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu aparat yang tidak melakukan diskriminatif penduduk, antara penduduk kaya dan yang tidak kaya.
Aparat pemerintah yang adil adalah juga aparat yang memberikan kepada pendusuk apa yang menjadi haknya. Aparat pemerintah yang bersih, artinya tanpa cacat hukum, tidak melakukan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Aparat pemerintah yang berwibawa, yaitu aparat yang disegani oleh penduduk, bukan ditakuti.




B. Saran
Berdasarkan apa yang telah saya uraikan di atas maka sepatnyalah setiap mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Hukum untuk dapat menawarkan konsep-konsep untuk penegakan hukum dalam hukum administrasi Negara. Konsep-konsep tersebut terutama ditujukan kepada pemerintah dan kemudian pihak swasta.




DAFTAR PUSTAKA

H.R, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2006.
Kumorotumo, Wahyudi, Etika Adminisrtrasi Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
M. Madson, Philipus, R. Sri Soemantri dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta : Gajah Mada University Press.2005.
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung : P.T. Citra Aditya Bakti, 2001.
Sukarna, Capita Selekta Administrasi Negara, Bandung : Alumni, 1975.
Sunindhia, Y.W, Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Thoha, Miftah, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.